Wawancara khusus
bersama Ust Wahyudi KS
(Da’i, Staf
Majelis Tarbiyah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah), pengisi Kajian Hikmah Pagi
RASIL 720 AM dan Dosen STAI AL-FATAH)
Oleh: Muslimah Zahro
Ust Wahyudi KS |
Pada dasarnya semua
itu merupakan bukti bahwa masyarakat sekarang ini sedang sakit, sakit secara
mental juga secara figur. Akhirnya mereka kehilangan figur. Seharusnya yang
menjadi figur adalah orang yang sudah jelas kebenarannya seperti halnya
Rasulullah dan para sahabatnya, tokoh-tokoh Islam sukses yang banyak memberikan
nilai kontribusi positif bagi kaum muslimin dan dunia pada umumnya, Maka kita boleh mrngidolakan orang-orang
seperti mereka. Karena jika kita mengidolakan mereka jelas ada manfaatnya tapi
jika mengidolakan artis yang notabene bukan orang muslim, artis yang orang
muslim saja masih dalam tanda kutip, sejauh mana artis itu mempunyai komitmen
terhadap syari’at Islam. Apalagi ini non muslim yang kehidupannya hura-hura
saja. Tidak ada hal yang memberikan nilai kontribusi positif apalagi untuk
meningkatkan akhlak, keimanan seseorang.
Coba saja kita
saksikan konser-konser , di sana malah terjadi ikhtilat, perzinahan
setelah itu terjadi luar biasa. Bahkan dulu pernah terjadi revolusi seks
setelah menyaksikan konser yang notabene konser itu adalah memberikan suatu
penampilan yang merangsang. Jadi tidak ada nilai-nilai positif yang akan
mendidik, justru yang ada kita akan hura-hura, hedonis dan sebagainya. Inilah
yang terjadi pada jama’ah muslimin, yang menunjukkan ini adalah bukti bahwa
remaja kita dalam kondisi sakit. Akhirnya butuh terapi.
Dengan cara apa agar mereka yang sedang sakit itu bisa disembuhkan
?
Harus melalui
tarbiyah, tidak bisa jika dia meninggalkan tarbiyah. Karena, diantara yang akan
mendorong perubahan adalah tarbiyah. Kualitas tarbiyah inilah yang harus kita
rapikan, kalau tarbiyah ini hanya mendorong atau merubah kognitif dan afektif
tidak merubah psikomotorik, tidak ada perubahan sikap hanya perubahan pikiran
saja. Kalau istilah sekarang, pendidikan di Indonesia ini kalau dinilai dengan
nilai-nilai pendidikan sebenarnya, semestinya Indonesia itu sudah gagal.
Coba kita perhatikan
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam memadukan pendidikan itu, kekuatan intelligence,
emosional dan spiritual. Sementara pendidikan di Indonesia itu lebih banyak
kepada kemampuan inteligence, sedangkan
kemampuan emosional dan spiritualnya terkesan diabaikan kalaupun ada,
tapi minim sekali. Coba kita perhatikan di sekolah-sekolah kita dikejar oleh
nilai tanpa kita perhatikan bagaimana akhlak serta aqidah mereka, kita hanya
terpaku pada nilai angka saja. Padahal itu adalah kecerdasan intelektual bukan
kecerdasan emosional. Sementara sikap mereka terhadap guru, terhadap sesama
teman, dan terhadap lingkungan sekarang sudah tidak menjadi penilaian. Lebih
banyak yang menjadikan seseorang naik atau tidaknya di kelas itu lebih banyak
ditentukan oleh nilai-nilai yang bersifat inteligence bukan emosional
dan spiritual, padahal Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam tidak pernah
memisahkan tiga kecerdasan ini antara inteligence (kecerdasan berpikir),
emosional dan spiritual. Istilah lain yaitu olah rasa, olah rasio dan olah raga. Olah rasa adalah keimanan, rasio adalah
intelektual, dan olah raga adalah fisik. Jadi, semuanya antara iman, Islam, dan
ihsan. Iman adalah kepercayaan hati, Islam adalah tindakan syari’ah, sedangkan
ihsan adalah spiritual. Dimana kita merasa Allah melihat kita dan kita seolah-olah melihat Allah, jika tidak
yakinkan bahwa Allah melihat kita itulah yang dinamakan ihsan. Jadi spiritual
itulah yang kita gunakan ketika kita kehilangan ihsan dia merasa tidak ada yang
memonitor dimana pun dia bebas, ketika berkumpul dengan teman-temannya yang di
majlis ta’lim ataupun di masjid misalnya dia baik namun ketika di luar dia
bebas lagi karena ihsan itulah yang kurang nilai-nilai spiritual yang minim.
Ini adalah karena nilai-nilai tarbiyah yang diterapkan di tengah-tengah kita
sebagai tuntutan meski cenderung mengutamakan kecerdasan intelektual tanpa
peduli dengan kecerdasan emosional dan spiritual.
Apakah solusi terbaik dalam menyikapi fenomena seperti ini ?
Solusinya harus
kembali kepada fitroh (Islam). Jika kita
melihat hari ini bahwa banyak orang-orang barat yang masuk Islam itu sebenarnya
mereka kembali kepada fitrah. Mereka sudah merasa jenuh dengan kehidupan yang
glamour, kehidupan yang serba bebas, ternyata dengan Islam mereka merasa hidup tertata
rapi, tenteram, sakinah itu adalah dari Islam itu sendiri. Kalau misalkan
mereka terus bergelut dengan kehidupan yang bebas seperti itu maka takkan ada
kepuasan, yang ada adalah pelampiasan ketidakpuasan dengan berbagai bentuk
hura-hura yang semakin semberaut, semakin merusak nilai-nilai akhlak. Jadi back
to nature artinya kembali kepada Islam.
Bahwa semestinya
kita menghayati dengan adanya waktu-waktu yang Allah berikan yaitu ramadhan,
bulan syawal, itu semua adalah sisi-sisi keutamaan yang harus kita perhatikan.
ramadhan kita dibina, digembleng, ditempa dengan berbagai macam kebaikan.
Semestinya ini harus menjadikan kita lebih baik di bulan syawal bulan
penimgkatan. Tapi realita yang terjadi sebagian besar umat justru bukan idul
fitroh tapi idul fatroh. Bukan kembali kepada kesucian, kembali kepada naluri
tapi kembali kepada keputusasaan, kembali kepada hilang semangat, hilang gairah
atau malas-malasan itu yang terjadi, karena tidak menghayati nilai-nilai
ruhiyah tadi yang erjadi pada saat ini. Demikian pula ramadhan telah
meninggalkan kita, syawal telah meninggalkan kita, syukur-syukur kita ketemu
lagi. Tetapi sebagai modal dasar, kalau kita menghayati makna waktu, urgensi
waktu itu adalah seperti yang disampaikan oleh imam syafi’i
“Waktu itu ibarat
pedang”, jika tidak digunakan dengan
sebaik-baiknya maka dia akan menggilas leher kita sendiri. Bahkan imam syafi’I
mengomentari surah al-‘ashr itu: “sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah yang
lain kecuali surah ini (al-‘ashr) niscaya cukup untuk mereka”. Inilah
kandungan yang terdapat dalam surah al-‘ashr termasuk urgensi waktu, jadi
berpacu dalam waktu untuk meraih prestasi di dunia dan di akhirat. Itu yang
harus kita pegang, istiqomah dalam ebenaran agar kita meraih prestasi di dunia
juga di akhirat. Mengakhiri hidup dengan prestasi bukan dengan frustasi, yaitu
husnul khotimah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Menulis Komentar/Saran/Masukan
Jazakallah Khair....