Minggu, 04 November 2012

“Demam Idola” Wawancara khusus


Wawancara khusus
bersama Ust Wahyudi KS
(Da’i, Staf Majelis Tarbiyah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah), pengisi Kajian Hikmah Pagi RASIL 720 AM dan Dosen STAI AL-FATAH)

Oleh: Muslimah Zahro

Ust Wahyudi KS
Bagaimana pendapat ustadz tentang fenomena yang sekarang ini tengah menimpa anak muda  yang mangidolakan para artis seperti marakny artis korea ?

Pada dasarnya semua itu merupakan bukti bahwa masyarakat sekarang ini sedang sakit, sakit secara mental juga secara figur. Akhirnya mereka kehilangan figur. Seharusnya yang menjadi figur adalah orang yang sudah jelas kebenarannya seperti halnya Rasulullah dan para sahabatnya, tokoh-tokoh Islam sukses yang banyak memberikan nilai kontribusi positif bagi kaum muslimin dan dunia pada umumnya,  Maka kita boleh mrngidolakan orang-orang seperti mereka. Karena jika kita mengidolakan mereka jelas ada manfaatnya tapi jika mengidolakan artis yang notabene bukan orang muslim, artis yang orang muslim saja masih dalam tanda kutip, sejauh mana artis itu mempunyai komitmen terhadap syari’at Islam. Apalagi ini non muslim yang kehidupannya hura-hura saja. Tidak ada hal yang memberikan nilai kontribusi positif apalagi untuk meningkatkan akhlak, keimanan seseorang.
Coba saja kita saksikan konser-konser , di sana malah terjadi ikhtilat, perzinahan setelah itu terjadi luar biasa. Bahkan dulu pernah terjadi revolusi seks setelah menyaksikan konser yang notabene konser itu adalah memberikan suatu penampilan yang merangsang. Jadi tidak ada nilai-nilai positif yang akan mendidik, justru yang ada kita akan hura-hura, hedonis dan sebagainya. Inilah yang terjadi pada jama’ah muslimin, yang menunjukkan ini adalah bukti bahwa remaja kita dalam kondisi sakit. Akhirnya butuh terapi.

Dengan cara apa agar mereka yang sedang sakit itu bisa disembuhkan ?

Harus melalui tarbiyah, tidak bisa jika dia meninggalkan tarbiyah. Karena, diantara yang akan mendorong perubahan adalah tarbiyah. Kualitas tarbiyah inilah yang harus kita rapikan, kalau tarbiyah ini hanya mendorong atau merubah kognitif dan afektif tidak merubah psikomotorik, tidak ada perubahan sikap hanya perubahan pikiran saja. Kalau istilah sekarang, pendidikan di Indonesia ini kalau dinilai dengan nilai-nilai pendidikan sebenarnya, semestinya Indonesia itu sudah gagal.
Coba kita perhatikan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam memadukan pendidikan itu, kekuatan intelligence, emosional dan spiritual. Sementara pendidikan di Indonesia itu lebih banyak kepada kemampuan inteligence, sedangkan  kemampuan emosional dan spiritualnya terkesan diabaikan kalaupun ada, tapi minim sekali. Coba kita perhatikan di sekolah-sekolah kita dikejar oleh nilai tanpa kita perhatikan bagaimana akhlak serta aqidah mereka, kita hanya terpaku pada nilai angka saja. Padahal itu adalah kecerdasan intelektual bukan kecerdasan emosional. Sementara sikap mereka terhadap guru, terhadap sesama teman, dan terhadap lingkungan sekarang sudah tidak menjadi penilaian. Lebih banyak yang menjadikan seseorang naik atau tidaknya di kelas itu lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang bersifat inteligence bukan emosional dan spiritual, padahal Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam tidak pernah memisahkan tiga kecerdasan ini antara inteligence (kecerdasan berpikir), emosional dan spiritual. Istilah lain yaitu olah rasa, olah rasio dan olah raga.  Olah rasa adalah keimanan, rasio adalah intelektual, dan olah raga adalah fisik. Jadi, semuanya antara iman, Islam, dan ihsan. Iman adalah kepercayaan hati, Islam adalah tindakan syari’ah, sedangkan ihsan adalah spiritual. Dimana kita merasa Allah melihat kita dan  kita seolah-olah melihat Allah, jika tidak yakinkan bahwa Allah melihat kita itulah yang dinamakan ihsan. Jadi spiritual itulah yang kita gunakan ketika kita kehilangan ihsan dia merasa tidak ada yang memonitor dimana pun dia bebas, ketika berkumpul dengan teman-temannya yang di majlis ta’lim ataupun di masjid misalnya dia baik namun ketika di luar dia bebas lagi karena ihsan itulah yang kurang nilai-nilai spiritual yang minim. Ini adalah karena nilai-nilai tarbiyah yang diterapkan di tengah-tengah kita sebagai tuntutan meski cenderung mengutamakan kecerdasan intelektual tanpa peduli dengan kecerdasan emosional dan spiritual.


Apakah solusi terbaik dalam menyikapi fenomena seperti ini ?

Solusinya harus kembali kepada fitroh (Islam).  Jika kita melihat hari ini bahwa banyak orang-orang barat yang masuk Islam itu sebenarnya mereka kembali kepada fitrah. Mereka sudah merasa jenuh dengan kehidupan yang glamour, kehidupan yang serba bebas, ternyata dengan Islam mereka merasa hidup tertata rapi, tenteram, sakinah itu adalah dari Islam itu sendiri. Kalau misalkan mereka terus bergelut dengan kehidupan yang bebas seperti itu maka takkan ada kepuasan, yang ada adalah pelampiasan ketidakpuasan dengan berbagai bentuk hura-hura yang semakin semberaut, semakin merusak nilai-nilai akhlak. Jadi back to nature artinya kembali kepada Islam.

Bahwa semestinya kita menghayati dengan adanya waktu-waktu yang Allah berikan yaitu ramadhan, bulan syawal, itu semua adalah sisi-sisi keutamaan yang harus kita perhatikan. ramadhan kita dibina, digembleng, ditempa dengan berbagai macam kebaikan. Semestinya ini harus menjadikan kita lebih baik di bulan syawal bulan penimgkatan. Tapi realita yang terjadi sebagian besar umat justru bukan idul fitroh tapi idul fatroh. Bukan kembali kepada kesucian, kembali kepada naluri tapi kembali kepada keputusasaan, kembali kepada hilang semangat, hilang gairah atau malas-malasan itu yang terjadi, karena tidak menghayati nilai-nilai ruhiyah tadi yang erjadi pada saat ini. Demikian pula ramadhan telah meninggalkan kita, syawal telah meninggalkan kita, syukur-syukur kita ketemu lagi. Tetapi sebagai modal dasar, kalau kita menghayati makna waktu, urgensi waktu itu adalah seperti yang disampaikan oleh imam syafi’i
Waktu itu ibarat pedang”,  jika tidak digunakan dengan sebaik-baiknya maka dia akan menggilas leher kita sendiri. Bahkan imam syafi’I mengomentari surah al-‘ashr itu: “sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah yang lain kecuali surah ini (al-‘ashr) niscaya cukup untuk mereka”. Inilah kandungan yang terdapat dalam surah al-‘ashr termasuk urgensi waktu, jadi berpacu dalam waktu untuk meraih prestasi di dunia dan di akhirat. Itu yang harus kita pegang, istiqomah dalam ebenaran agar kita meraih prestasi di dunia juga di akhirat. Mengakhiri hidup dengan prestasi bukan dengan frustasi, yaitu husnul khotimah.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Menulis Komentar/Saran/Masukan

Jazakallah Khair....

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More